Salah
satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah korupsi.
Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang
dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik
korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak
saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik, social budaya, maupun
keamanan. [1]
Korupsi terjadi di berbagai sektor kehidupan, tidak hanya terjadi di dunia
pemerintah (eksekutif) tetapi juga terjadi di sektor legislative, yudikatif,
maupun sektor swasta. Sifatnya juga bermacam-macam, tidak hanya terkait
tindakan manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terkait kegiatan teknis
administrasi pemerintahan, tetapi juga proses pembuatan kebijakan (legeslasi),
kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lainnya.
Kompleksnya
aspek-aspek tindak pidana korupsi ini juga telah diakui seperti yang disebut
dalam ketentuan umum konvensi PBB yaitu United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang disahkan pada tanggal 29
September 2003. Pada dasarnya korupsi baru dapat dikatakan suatu kejahatan
ketika Undang-undang sudah mengatur. Hal tersebut sesuai dengan asa legalitas
yang dianut oleh hukum pidana di Indonesia. Tentunya masyarakat awam
sendiri memiliki pengertian umum tentang korupsi, sebagai suatu tindakan yang
berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan uang yang berasal dari keuangan
Negara secara tidak sah.[2]
Tindak
pidana korupsi di Indonesia yang semakin meluas dan telah terjadi secara sistematis serta melihat dampak
yang akan ditimbulkan, maka tindak pidana korupsi yang sebelumnya dikatakan
kejahatan biasa tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan
kejahatan yang luar biasa.[3]
Sejak tahun 1957 sampai sekarang, sikap pemerintah dalam rangka memberantas
korupsi ditunjukan dengan dibentuknya Peraturan-peraturan mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai pedoman bagi aparatur Negara dalam
misi pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun dari sekian banyaknya peraturan
yang dimunculkan, sepertinya dirasa belum mampu menanggulangi kasus korupsi di Indonesia.
Evi Hartanti mengatakan bahwa :
Penindakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan secara konvensional
terbukti telah mengalami banyak hambatan. Dengan demikian, diperlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif dan professional.[4]
Terkait hal itu maka pemerintah dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, membentuk lembaga khusus yang independen
yang diharapkan dapat menjadi motor dalam pemberantasan korupsi. Pembentukan
lembaga baru untuk menangani kasus tindak pidana korupsi tersebut memerlukan
pemikiran yang mendalam dari segi kemanfaatannya, efektifitasnya, serta sarana
yang mendukung seperti sumber daya manusia serta dana oprasionalnya.[5]
Berdasarkan
Pasal 43 UU No.31 Tahun 1999 jo UU
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mengisyaratkan terbentuknya lembaga independen yang dikenal dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya disebut
dengan KPK ini dibentuk dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 tahun semenjak
undang-undang tersebut mulai berlaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan TAP MPR
No. VII Tahun 2001 yang memberi arah kebijakan untuk percepatan dan efektifitas
pelaksanaan pencegahan korupsi di Indonesia.
Menurut
Pasal 6-14 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Tugas dan
Kewenangan KPK meliputi kewenangan melakukan koordinasi, supervise, monitoring
serta penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melakukan pencegahan dan
monitoring.
Terkait
tugas KPK dalam penyelidikan dan penuntutan menurut Pasal 8 UU No.30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
lembaga super body memiliki
kewenangan luar biasa dimana KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan
dengan alasan-alasan tertentu.
Luasnya
kewenangan KPK tersebut mengakibatkan timbulnya masalah baru, seperti munculnya
potensi tumpang tindih antara kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menyangkut kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan dalam penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi tersebut masih tetap diakui karena telah diatur dalam
KUHAP. Sementara itu kewenangan KPK juga memiliki dasar hukum yang kuat, bahkan
KPK memiliki kewenangan yang jauh lebih besar dalam hal penanganan tindak pidana korupsi dari kewengangan yang
dimiliki Kepolisian dan Kejaksaan tersebut.
Luasnya kewenangan yang dimiliki KPK dalam
memberantas tindak pidana korupsi tersebut dapat menimbulkan penyalahgunaan
wewenang. Contoh kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh ketua KPK
Bibit dan Candra yang telah melakukan upaya pemerasan dalam penerbitan
surat cekal tersangka korupsi Anggoro
Widjojo dan pencabutan cekal buronan Joko Tjandra. Keduanya dianggap melangga Pasal 12 huruf e; Pasal 15
UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001 dan/atau Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUHP. Dengan terbitnya SKPP
itu, penuntutan keduanya resmi
dihentikan. Dan pihak kepolisian
menjerat pimpinan KPK dengan penyalahgunaan wewenang. POLRI tidak berwenang
mengurus penyalahgunaan kewenangan KPK karena PTUN yang dapat menentukan apakah
ada penyalahgunaan wewenang atau tidak. POLRI bisa bertindak jika ada
dugaan suap dibalik keluarnya surat pencabutan pencekalan oleh KPK, tapi harus ada bukti awal. Selama
ini yang diberitahu ke publik karena
melakukan pencekalan, bukan penyuapan.[6]
Untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih antara Lembaga
Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam penggunaan wewenang dalam memberantas
tindak pidana korupsi seperti contoh diatas, KPK sebagai motor dalam
pemberantasan korupsi dapat bekerjasama dengan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian
dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dimana Kepolisian dan
Kejaksaan harus mengkoordinasikan segala tindakan dalam penyidikan dan
penuntutan kasus yang sedang ditangani. Tapi terkait hal ini, dalam
Undang-undang tidak ada peraturan yang kuat mengatur bilamana lembaga
Kepolisian dan Kejaksaan tersebut tidak melaporkan perkara korupsi yang
ditangani.
Mengingat kewenangan KPK yang
sangat luar biasa, masyarakat dirasa perlu mengetahui segala tindakan KPK, agar
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK yang merupakan bentuk dari kebijakan
pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara bersama-sama yang juga melibatkan
seluruh masyarakat Indonesia.
No comments:
Post a Comment