Thursday, September 12, 2013


Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik, social budaya, maupun keamanan. [1] Korupsi terjadi di berbagai sektor kehidupan, tidak hanya terjadi di dunia pemerintah (eksekutif) tetapi juga terjadi di sektor legislative, yudikatif, maupun sektor swasta. Sifatnya juga bermacam-macam, tidak hanya terkait tindakan manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terkait kegiatan teknis administrasi pemerintahan, tetapi juga proses pembuatan kebijakan (legeslasi), kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lainnya.
Kompleksnya aspek-aspek tindak pidana korupsi ini juga telah diakui seperti yang disebut dalam ketentuan umum konvensi PBB yaitu United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang disahkan pada tanggal 29 September 2003. Pada dasarnya korupsi baru dapat dikatakan suatu kejahatan ketika Undang-undang sudah mengatur. Hal tersebut sesuai dengan asa legalitas yang dianut oleh hukum pidana di Indonesia. Tentunya masyarakat awam sendiri memiliki pengertian umum tentang korupsi, sebagai suatu tindakan yang berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan uang yang berasal dari keuangan Negara secara tidak sah.[2]
Tindak pidana korupsi di Indonesia yang semakin meluas dan telah  terjadi secara sistematis serta melihat dampak yang akan ditimbulkan, maka tindak pidana korupsi yang sebelumnya dikatakan kejahatan biasa tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan kejahatan yang luar biasa.[3] Sejak tahun 1957 sampai sekarang, sikap pemerintah dalam rangka memberantas korupsi ditunjukan dengan dibentuknya Peraturan-peraturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai pedoman bagi aparatur Negara dalam misi pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun dari sekian banyaknya peraturan yang dimunculkan, sepertinya dirasa belum mampu menanggulangi kasus korupsi di Indonesia.
Evi Hartanti mengatakan bahwa :
Penindakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang      selama ini dilakukan secara konvensional terbukti telah mengalami banyak hambatan. Dengan demikian, diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif dan professional.[4]

Terkait  hal itu maka pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, membentuk lembaga khusus yang independen yang diharapkan dapat menjadi motor dalam pemberantasan korupsi. Pembentukan lembaga baru untuk menangani kasus tindak pidana korupsi tersebut memerlukan pemikiran yang mendalam dari segi kemanfaatannya, efektifitasnya, serta sarana yang mendukung seperti sumber daya manusia serta dana oprasionalnya.[5]
Berdasarkan Pasal 43 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengisyaratkan terbentuknya lembaga independen yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya disebut dengan KPK ini dibentuk dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 tahun semenjak undang-undang tersebut mulai berlaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan TAP MPR No. VII Tahun 2001 yang memberi arah kebijakan untuk percepatan dan efektifitas pelaksanaan pencegahan korupsi di Indonesia.
Menurut Pasal 6-14 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Tugas dan Kewenangan KPK meliputi kewenangan melakukan koordinasi, supervise, monitoring serta penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melakukan pencegahan dan monitoring.
Terkait tugas KPK dalam penyelidikan dan penuntutan menurut Pasal 8 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga super body memiliki kewenangan luar biasa dimana KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan dengan alasan-alasan tertentu.
Luasnya kewenangan KPK tersebut mengakibatkan timbulnya masalah baru, seperti munculnya potensi tumpang tindih antara kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menyangkut kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi tersebut masih tetap diakui karena telah diatur dalam KUHAP. Sementara itu kewenangan KPK juga memiliki dasar hukum yang kuat, bahkan KPK memiliki kewenangan yang jauh lebih besar dalam hal penanganan tindak pidana korupsi dari kewengangan yang dimiliki Kepolisian dan Kejaksaan tersebut.
Luasnya kewenangan yang dimiliki KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Contoh kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh ketua KPK Bibit dan Candra yang telah melakukan upaya pemerasan dalam penerbitan surat cekal tersangka korupsi  Anggoro Widjojo dan pencabutan cekal buronan Joko Tjandra. Keduanya  dianggap melangga Pasal 12 huruf e; Pasal 15 UU No 31 Tahun 1999 jo UU  No 20 Tahun 2001 dan/atau Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun  2001 jo Pasal 421 KUHP. Dengan terbitnya SKPP itu, penuntutan keduanya  resmi dihentikan. Dan pihak kepolisian menjerat pimpinan KPK dengan penyalahgunaan wewenang. POLRI tidak berwenang mengurus penyalahgunaan kewenangan KPK karena PTUN yang dapat menentukan apakah ada penyalahgunaan wewenang atau tidak. POLRI bisa bertindak jika ada dugaan suap dibalik keluarnya surat pencabutan pencekalan oleh KPK, tapi harus ada bukti awal. Selama ini yang diberitahu ke publik karena melakukan pencekalan, bukan penyuapan.[6]
Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih antara Lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam penggunaan wewenang dalam memberantas tindak pidana korupsi seperti contoh diatas, KPK sebagai motor dalam pemberantasan korupsi dapat bekerjasama dengan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dimana Kepolisian dan Kejaksaan harus mengkoordinasikan segala tindakan dalam penyidikan dan penuntutan kasus yang sedang ditangani. Tapi terkait hal ini, dalam Undang-undang tidak ada peraturan yang kuat mengatur bilamana lembaga Kepolisian dan Kejaksaan tersebut tidak melaporkan perkara korupsi yang ditangani.
Mengingat kewenangan KPK yang sangat luar biasa, masyarakat dirasa perlu mengetahui segala tindakan KPK, agar pelaksanaan tugas dan wewenang KPK yang merupakan bentuk dari kebijakan pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara bersama-sama yang juga melibatkan seluruh masyarakat Indonesia.


       [1] Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, Pustaka Timur, Yogyakarta, h. 1.

       [2] Leden Merpaung, 1991, Tindak Pidana Korupsi dan Pencegahannya, Bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 149.
       [3] http://hukum.kompasiana.com/2011/12/26/korupsi-sebagai-kejahatan-luar-biasa/.
       [4] Evi Hartanti, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h.3.
        [5] Sutara Djaya, Penyidik Tindak Pidana Korupsi dan Paradigma Baru Pemberantasannya, Majalah Ilmu Hukum Kertha Patrika Vol. 29 No.1, januari 2004, h. 29.
                                        [6]http://nasional.kompas.com/read/2009/09/16/11160456/Apa.Urusan.Polisi.Tangani.Penyalahgunaan.Wewenang.KPK.

No comments:

Post a Comment